Oleh: Fiorella Primindra Zahira, Mahasiswi Universitas Diponegoro
Tembalang kini telah menjadi kawasan padat yang didominasi oleh hunian mahasiswa, khususnya mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip). Jumlah mahasiswa terus meningkat setiap tahun; tahun ajaran 2025 saja, tercatat 16.000 mahasiswa baru diterima, jauh melebihi jumlah mahasiswa yang lulus. Peningkatan ini, ditambah dengan mobilitas tinggi para pekerja yang harus melintasi Tembalang menuju kawasan Kota Semarang, menyebabkan kemacetan di hampir semua titik Tembalang kian parah setiap harinya. Fenomena ini sudah menjadi permasalahan serius yang mendesak untuk ditangani, bukan lagi isu sepele.
Dampaknya, mahasiswa menjadi tidak efisien karena terpaksa menghabiskan waktu lebih lama di jalan, yang membuang waktu, energi, dan materi (bahan bakar kendaraan). Pemerintah seharusnya menangani masalah ini secara bijak, mengingat Tembalang merupakan kawasan yang sempit dan memiliki lahan terbatas. Sayangnya, lahan ini kini lebih banyak dialihfungsikan menjadi hunian untuk menampung lonjakan mahasiswa, sehingga semakin memperparah kepadatan kawasan.
Kepadatan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan dan kemacetan, seperti yang terjadi di Jalan Sirojudin, Banjarsari Tembalang. Kondisi jalanan di Tembalang, dengan mobilitas yang sangat tinggi, memang rawan rusak, terutama karena sering dilalui oleh kendaraan besar (truk, kontainer) dan kendaraan yang membawa muatan berlebih, yang bahkan menyebabkan jembatan ambles.
Kerusakan berupa jalan berlubang yang kerap terjadi hanya ditangani pemerintah dengan penambalan aspal sementara. Tindakan ini hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan yang lebih parah, bahkan ambles. Seandainya pemerintah menyikapi isu ini lebih awal dan lebih serius, kemungkinan terjadinya kerusakan fatal seperti itu akan jauh lebih kecil.
Faktor selanjutnya adalah sempitnya jalanan yang turut memengaruhi kemacetan. Mahasiswa sering memilih “jalan tikus” untuk menghemat waktu dan memotong kemacetan di jalan utama. Akibatnya, kepadatan kendaraan kini juga dialami di jalan-jalan sempit tersebut, yang seharusnya menjadi alternatif.
Dari sisi tata ruang, pembangunan di Tembalang berjalan sangat pesat namun kurang terkoordinasi. Banyak hunian (perumahan, apartemen) dan tempat usaha tumbuh tanpa diimbangi fasilitas publik yang memadai. Drainase, trotoar, dan ruang hijau sering kali dikorbankan demi pembangunan lahan parkir dan bangunan komersial. Pemerintah kota terkesan mendorong investasi tetapi mengabaikan prinsip keberlanjutan. Akibatnya, pertumbuhan yang cepat ini justru menimbulkan beban baru bagi kawasan yang fungsi utamanya adalah pusat pendidikan dan pemukiman.
Dampak kemacetan ini terasa luas. Warga menghabiskan lebih banyak waktu di jalan, yang berujung pada penurunan produktivitas dan peningkatan polusi udara. Mahasiswa terlambat kuliah, pekerja kehilangan waktu tempuh, dan suara klakson yang memekakkan telinga menjadi pemandangan sehari-hari. Penelitian dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di kota-kota besar Indonesia mencapai triliunan rupiah per tahun; Tembalang, dengan tingkat mobilitasnya yang tinggi, tidak luput dari kerugian tersebut.
Namun, di balik berbagai masalah ini, Tembalang juga mencerminkan potret kawasan yang sedang berkembang pesat. Kehadiran mahasiswa mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang signifikan, mulai dari usaha kuliner, jasa transportasi, hingga perumahan. Sayangnya, laju kemajuan ini sering kali lebih cepat daripada kemampuan kebijakan pemerintah dalam mengatur tata ruang dan mobilitas warga. Tembalang tumbuh pesat, tetapi tanpa arah perencanaan yang jelas.
Kemacetan di Tembalang bukan sekadar persoalan lalu lintas, melainkan indikasi utama ketidakseimbangan antara pembangunan dan perencanaan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dan berkelanjutan yang melibatkan pemerintah kota, pihak kampus, dan seluruh elemen masyarakat.
Pertama, pemerintah harus memperkuat sistem transportasi publik. Hal ini meliputi penambahan armada, penataan rute, dan peningkatan fasilitas halte untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Kedua, tata ruang kawasan perlu ditata ulang dengan pendekatan berkelanjutan. Setiap pembangunan baru harus diwajibkan menyediakan area parkir yang memadai, jalur pedestrian (trotoar), dan ruang hijau. Ketiga, pihak kampus dapat berperan aktif dengan menggalakkan program transportasi bersama atau penyediaan bus antar-jemput (shuttle bus) khusus mahasiswa.
Selain itu, peran masyarakat juga sangat penting. Mahasiswa dan warga dapat berkontribusi dengan membiasakan penggunaan transportasi ramah lingkungan, seperti berjalan kaki atau bersepeda untuk jarak dekat. Kesadaran kolektif semacam inilah yang menjadi kunci dalam mewujudkan Tembalang yang lebih tertib, nyaman, dan manusiawi.
Pembangunan semestinya tidak hanya diukur dari kuantitas gedung dan usaha baru, tetapi juga dari kualitas pengelolaan kawasan demi kesejahteraan manusia yang tinggal di dalamnya. Jika semua pihak berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kenyamanan hidup, Tembalang berpotensi menjadi contoh nyata kawasan pendidikan modern yang berkelanjutan, tertib, dan manusiawi.
Leave a comment