
Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI), Rahmat Sentika, dalam suatu acara media belum lama ini menghimbau agar orang tua tidak lagi memberikan susu kental manis (SKM) untuk anak, terutama anak usia satu hingga tiga tahun. Konsumsi rutin SKM oleh anak dapat memicu risiko diabetes dan obesitas serta masalah kerusakan gigi.
Selain itu, anak yang terbiasa dengan rasa manis akan sulit menerima varian makanan lain yang jauh dari rasa manis dan berakibat pada kurangnya nutrisi anak dan terganggu masa pertumbuhannya.
Konsumsi SKM di kalangan rumah tangga terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan Survey Sosial dan Ekonomi Nasional (Sussenas) 2016, SKM adalah jenis susu yang banyak diminati oleh masyarakat. SKM dibeli oleh 73,3% rumah tangga dengan pengeluaran di bawah Rp2,5 juta, dibeli oleh 68,9% rumah tangga dengan pengeluaran Rp2,5 – Rp5 juta, dan dibeli oleh 60,2% rumah tangga berpengeluaran Rp5 – Rp10 juta. Sementara rumah tangga dengan pengeluaran di atas Rp10 juta per bulan paling sedikit membeli SKM.
Pada ranah sosial media, kesadaran konsumen terhadap bahaya terhadap SKM juga mulai terlihat. Komunitas Parenting Blogger baru-baru ini terlihat melakukan aksi pada media sosial dengan menyebarkan pesan #savegenerasiemas2045 #SKMbukansusu #SKMbukanminumananak. Hal itu dilakukan dalam rangka mengajak masyarakat untuk tidak memberikan susu kental manis untuk anak serta mendesak pemerintah untuk mulai memperhatikan masalah ini.
Gerakan aktvis parenting tersebut akhirnya mendapat sorotan dari sejumlah lembaga diantaranya YLKI dan Leks yang akhirnya mendesak pemerintah untuk memperhatikan masalah ini. Ketua YLKI Tulus Abadi meminta BPOM memperbaiki terminologi SKM di dalam regulasinya. Sebagaimana diketahui Perka BPOM No 1 th 2015 tentang Kategori Pangan mengategorikan SKM sebagai produk susu. Sementara, kandungan protein susunya sendiri sangat sedikit, yaitu dibawah 7,5%.
Peneliti Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara Institut Pertanian Bogor (IPB), Dodik Briawan menjelaskan bahwa SKM dibuat dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50%) kemudian ditambah dengan gula 45-50%.
“Proses inilah yang mengakibatkan tingginya kandungan gula susu kental manis, yaitu mencapai 50%. Sementara, protein dan nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tubuh anak sangat rendah,” jelas Dodik.
Dilansir dari laman tirto.id, Tulus mengatakan, produsen harus terbuka dengan pelabelan produk mereka jika memang bukan termasuk produk susu. “Harus dikurangi konsumsi gulanya, kalau betul 70 persen, itu betul sangat tinggi dan kita akan protes,” tegasnya.
Kendati demikian, Tulus menjelaskan bahwa pemidanaan produsen SKM terhadap penipuan baru bisa dilakukan jika memang pelabelan yang dilakukan produsen tidak sesuai dengan isi kemasan.
Persoalan susu kental manis bukanlah persoalan baru mengingat produk SKM pun sudah sangat lama ada di Indonesia. Bahaya SKM pun bukan informasi baru yang diketahui publik, khususnya para pakar kesehatan serta kalangan pemerintah. Hanya saja selama ini persoalan tersebut tidak dianggap sebagai isu yang seksi.
Padahal, sejatinya, penggunaan SKM yang salah (dikonsumsi oleh anak-anak) berisiko besar terhadap masa depan anak Indonesia. Target pemerintah mewujudkan Indonesia Emas 2045 akan terkendala bila anak-anak Indonesia saat ini mengkonsumsi makanan yang berisiko bagi usia produktif mereka nantinya.
